Selasa, 06 Januari 2009


WANITA-WANITA PERMATA DAN GENOSIDA GAZA
Logika apa yang dipakai oleh agresor Israel yang sampai hati membantai ratusan
penduduk Palestina di Gazza? Alibi kerdil apa yang sampai bisa memasung
kepedulian bangsa Arab untuk sekadar menonton pembantaian massal di Palestina?
Sudah terlalu menggunungkah dosa-dosa kita yang kemudian mengatup nurani untuk
melek menyaksikan kejahatan perang tak termaafkan dalam sejarah itu?

Sabtu (27/12) kemarin, genosida biadab tak berkesudahan itu kembali menumpahkan
darah-darah manusia terhormat di bumi Gazza. Tidak kepalang tanggung, 150 orang
syahid dan 200 lainnya menderita cidera serius dibabat ribuan amunisi buas
Israel; ditebas oleh terjangan roket-roket maut F16 yang mengamuk di atas
angkasa Palestina. Dan, korban sebanyak itu baru prolog. Allahu akbar!
Manusia-manusia Islam yang sudah kehilangan kepedulian saudara-saudaranya di
belahan bumi yang lain itu, hanya kuasa menjerit pilu. Cuma bisa mengerang tak
bisa berbuat apa apa, tatkala suami-suami mereka jatuh tersungkur bermandi
darah; ketika bocah-bocah yang lucu dan menggemaskan itu berteriak kesana-kemari
dalam derai kepanikan; manakala puluhan apartemen usang yang menjadi tempat
berteduh keluarga-keluarga malang itu seketika roboh dihantam peluru raksasa
Israel. Yang tersisa adalah gelimpangan mayat, jasad bocah-bocah suci yang
tersenyum tenang, dan puing-puing bangunan yang menyatu ke bumi.
Israel kembali menggunakan "logika kematian". Strategi bertaruh nyawa
yang tentu saja membuat bulu kuduk pemimpin-pemimpin Arab merinding. Karena
kumpulan orang-orang yang mengaku diri mulia dan terhormat itu tidak pernah
mengerti bahwa hanya dengan pertaruhan darah demi membela kemerdekaan sejati,
manusia baru bisa mulia lalu mendapatkan kehormatan abadi. Bukan dengan
bersembunyi di balik ketiak kepengecutan, atau menggelar ratusan pertemuan di
meja-meja konferensi OKI, Liga Arab, yang selalu saja berakhir dengan
rekomendasi bualan. Tanpa bukti. Pantas mereka menjadi kurcaci dihadapkan dengan
logika kematian Israel?
Bagi rakyat Palestina sendiri dari dulu hingga sekarang, mereka sudah memahami
bahwa letak krisis Palestina bukan karena Israel yang tak henti-hentinya
melakukan pembunuhan dan perampasan. Masalah kematian bagi mereka tak menjadi
soal, sebab mereka faham bahwa kesucian dan kemuliaan diri itu selalu harus
ditebus dengan darah dan air mata.
Sumber genosida di Gazza adalah sikap pengecut pemimpin-pemimpin Arab dan umat
Islam yang telah kehilangan semangat altruistik. Lelap berselimut egoistis
hingga tak lagi peka akan nilai-nilai humanisme, yang tak lagi menyemat spirit
kohesif yang menjadi pilar kekuatan Islam dan bangsa Arab. Dan, oleh karenanya
kita dilindas Israel (Barat) yang sukses mengaplikasi semangat altruistik dan
spirit kohesif! Maka wajar kita kalah.

Kontribusi Wanita Permata
Kenapa Palestina yang tinggal sekerat itu masih tetap bertahan menggelorakan
semangat perlawanan tanpa batas dan tidak lekang dari bumi? Sebab di atas tanah
milik umat Islam itu ada wanita-wanita luar biasa. Bak permata. Meskipun tak menyimpan permata dan perhiasan mewah. Kemilaunya memancar dari kepribadian. Wanita yang mungkin tersembunyi, terbenam bersama perjuangan membina generasi pejuang. Mereka tidak populer, tapi selalu membisikkan spirit kepahlawanan ke telinga-telinga putera-puteri tercinta.
"Nak, kehidupan abadi itu di surga. Kemuliaan itu senantiasa harus ditebus
dengan tetes darah dan derai air mata"!
Begitulah Ummu Nidhol, wanita permata Palestina yang kerap membisikkan spirit
perjuangan kepada ketiga puteranya. Ia deskripsikan surga di pangkal mata. Ia
tak pernah pacu sang anak untuk merengkuh kehidupan hedonis yang acapkali
membinasakan mental ukhrawi. Ia tak cita-citakan puteranya untuk mengemis harta
bertuhankan nafsu. Ia hanya inginkan buah hatinya masuk surga, dengan
berkorbankan darah.
Usai putera ketiganya yang baru berusia 16 tahun syahid dalam drama ledakan
dahsyat di jantung kekuatan Israel, Ummu Nidhol menangis. Ketika ditanya perihal
penyebab ia menangis. Wanita permata itu berkata: "Saya tidak punya lagi
anak yang bisa saya persembahkan untuk kemuliaan Palestina!"
Lalu Ibunda Muh. Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel tahun 1453 M. Dalam
usia 23 tahun, Al-Fatih berhasil memaksa hengkang Raja Constantine XI Paleologus
dari tahtanya. Penaklukan paling fantastis dalam sejarah.
Ibunyalah yang kala masih mengandung Al-Fatih acap berdiri menghadap ke arah
kota Konstantinopel. Ia berharap besar bahwa kelak puteranya yang akan
menaklukkan negeri itu. Mengamini sabda baginda Rasulullah Saw. "“Kota
Konstantinopel akan jatuh ke tangan umat Islam. Pemimpin yang menaklukkannya
adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah
sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad). Obsesi mulia wanita permata.

Menegaskan Substansi Krisis
Sekali lagi, memang benar genosida di Gazza saat ini merupakan potret
keangkaramurkaan. Sangat pantas kita kecam kebiadaban Israel bahkan menjadi
suatu keharusan. Tidak kita biarkan penduduk Gazza menahan derita seorang diri.
Segera tabuh genderang reaksi massal untuk hentikan pembantaian itu. Sebelum
terlambat. Sebelum Palestina, seperti kata DR. Raghib Sirjani, akan menjadi
Andalusia kedua. Hilang dari peta dunia.
Tapi, seyogyanya jangan biarkan pemimpin-pemimpin Arab yang duduk santai di
singgahsana apatis itu lepas dari kecaman. Sebab mereka yang paling
bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang melanda bumi Palestina. Paksa
mereka untuk mengulurkan bantuan dan membungkam kekejaman Israel, walaupun
mungkin hal itu hampir mustahil mereka lakukan.
Mengapa? Barangkali karena sosok wanita-wanita permata itu hanya ada di
Palestina, hanya pernah ada di masa penaklukan Konstantinopel. Yang ada hanya
seorang ibu yang cita-citanya hendak mengikuti riak-riak kecil arus modernisme.
Meletakkan standar kesuksesan anak-anak pada wujud materi dan segudang
sertifikasi. Seorang isteri yang memaksa suami berpeluh darah untuk menangkap
kebahagiaan semu pada jabatan, pangkat, dan prestise. Pada ruang-ruang busana
temporal yang sering menguap dilahap waktu. Mengapa ibu dan isteri itu tak
membisikkan senandung merdu tentang surga ke telinga-telinga anak dan suami?
Kenapa tak pintal sutera cinta dalam tiap keinginan bahwa ibu dan isteri itu
ingin bersama merengguk kebahagiaan abadi?
Genosida Gazza adalah konsekuensi dari punahnya sistem pendidikan ukhrawi yang
hanya bisa diajarkan oleh wanita-wanita permata. Cukup kita sesalkan karena
pemimpin-pemimpin Arab itu dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan didampingi oleh
reinkarnasi wanita lain.
Harapan itu masih ada. Di Palestina masih banyak wanita permata yang menjamin
eksistensi para pahlawan pembela negeri. Kalau Dunia Arab telah mandul
melahirkan wanita permata, maka Dunia Islam yang membentang dari pangkal
Indonesia sampai ke pucuk Samudera Atlantik di pesisir Afrika Barat, pasti telah
bersiap-sedia menjadi wanita-wanita permata. Untuk melahirkan pemimpin satria
sekelas Al-Fatih. Bukan seperti pemimpin Arab yang kini hanya bisa menonton
Genosida di Gazza. [Taryudi]

Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan
strata satu di Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran
pada Agustus 2008. Saat ini tengah merampungkan pendidikan magisternya pada
civitas yang sama. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan
Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga
Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir.
No. kontak : +20163932877/ +2024718593 Email :taryudi_k@yahoo.com


0 comments:

Posting Komentar

Photobucket

Choose Language

Label Cloud

Thanx To Visit




ShoutMix chat widget



 

Design by Amanda @ Blogger Buster